Media Dakwah dan Informasi Islami

Palestina di PBB, Antara Kemerdekaan Formalitas dan Kemerdekaan Riil

Islam-News Isu Palestina kembali menyedot perhatian dunia internasional. 23 September ini, Otoritas Palestina yang dinahkodai Mahmud Abbas (Abu Mazen) akan membawa proyek tuntutan pengakuan kemerdekaan negara Palestina diatas jajahan tahun 1967 dan sebagai anggota resmi PBB. Liga Arab yang beranggotakan negara-negara Arab mendukung langkah ini. Negara-negara sahabat dan non blok juga mendukung langkah ini. Diprediksi voting di DK PBB akan berlangsung panas dan alot. Uni Eropa dan Amerika dipastikan akan berdiri membela Israel. Ada kemungkinan voting akan berpihak kepada Palestina dan DK PBB akan mengeluarkan resolusi kemerdekaan Palestina. Tetapi masalahnya, masih ada 79 negara yang belum mau mengakui Palestina. Dari jumlah 79 negara itu, 29 negara adalah anggota non blok. Tapi Amerika agaknya akan menjegal resolusi ini dengan hak sakti vetonya.



Mengabaikan Rekonsiliasi Palestina

Sayangnya, tidak banyak yang tahu jika langkah Abbas ke PBB ini masih menjadi polemik tajam di internal Palestina sendiri. Dengan kata lain, langkah Mahmud Abbas ini bukan merupakan kesepakatan Palestina. Gerakan Perlawanan Islam Hamas, Jihad Islami dan sejumlah faksi-faksi lainnya di Palestina menolak langkah ke PBB ini dengan konsep negara yang ditawarkan Abbas. Mereka masih realistis jika masalahnya wilayah negara nantinya adalah jajahan 1967. Mereka sebenarnya bukan menolak langkah diplomasi di dunia internasional untuk memperjuangkan hak-hak legal Palestina yang dirampas oleh penjajah. Penolakan mereka karena selama ini perjuangan di level internasional tidak membuahkan hasil, kecuali sekadar opini publik semata dan prosedur teknis formal tanpa ada langkah nyata di lapangan. Di PBB dinyatakan merdeka, namun di lapangan negara Palestina tidak memiliki kedaulatan penuh dan tidak memiliki persenjataan sebagaimana layaknya sebuah negara merdeka di dunia.

Tidak banyak orang tahu jika tokoh-tokoh penting di Palestina menolak langkah Abbas ke PBB. Bagi mereka inisiatif politik apapun penting untuk menekan penjajah dan mempersempit gerakanya serta memaksa negara dunia agar menghilangkan kezhaliman dari Palestina dan rakyatnya. Namun langkah politik apapun harus didahului persatuan nasional dan integrasi keputusan politik dalam negeri untuk menjamin langkah politik itu bersifat matang dan kuat yang bisa didukung semua pihak. Ini yang tidak ada pada langkah Abbas sebab Tuntutan September ini berlawanan dengan hal diatas. Langkah politik ini justru terjadi di tengah perpecahan. Tidak ada kesepakatan di kalangan kelompok-kelompok Palestina baik di dalam atau luar negeri. Bahkan banyak kalangan mengkhwatirkan ini hanya langkah kosong tanpa hasil.

Dengan kata lain, yang terpenting bagi Mahmud Abbas yang mewakili gerakan Fatah, terbesar kedua di Palestina setelah Hamas, adalah menerapkan rekonsiliasi Palestina yang diteken tiga bulan lalu. Sampai saat ini rekonsiliasi hanya hitam di atas putih dan pasal-pasal kesepakatan tidak diterapkan oleh Mahmud Abbas.

Melecehkan Hak Kembali Pengungsi Palestina

Dari konsep yang ditawarkan Abbas juga bermasalah. Guru besar ilmu politik di Universitas Nasional An-Najah, Nablus Tepi Barat, Prof. Abdus Sattar Qasim menegaskan, jika Abbas bermaksud memasukkan PBB dalam masalah Palestina, maka dia bisa memintanya melaksanakan resolusi-resolusi sebelumnya. Dari resolusi 181 yang disetujui Amerika dan resolusi nomor 194 khusus tentang pengungsi Palestina. Adapun pergi ke PBB dan meminta sebuah negara di atas 22% tanah Palestina maka ini sangat mengejutkan dan aneh. Bagaimana seorang pemimpin bangsa yang dulu meminta 44% tanah Palestina dan kini pergi meminta sebuah negara di atas 22% tanah Palestina.
Qasim menyatakan bahwa meminta sebuah negara di atas perbatasan 22% luas tanah Palestina adalah pelecehan terhadap keputusan-keputusan

institusi-institusi Palestina sebelumnya dan tidak menghormati diri sendiri. Dia menyatakan, pergi ke PBB sekarang ini melanggar dua deklarasi “negara Palestina” sebelumnya. Pertama tahun 1948 yang dideklarasikan Ahmad Hilmi Abdul Baqi dan yang kedua tahun 1988 yang mendeklarasikan sebuah negara di atas 44% luas wilayah Palestina oleh Yaser Arafat.

Bagi Qasim memperjuangkan hak kembali pengungsi Palestina lebih utama daripada meminta negara. Dia menyerukan agar Abbas tidak sendiri dalam mengambil keputusan terkait urusan Palestina. “Tidak diragukan lagi bahwa ketika Anda meminta sebuah negara di atas perbatasan tanah pendudukan tahun 1967, itu artinya Anda menggugurkan tuntutan hak kembali ke wilayah Palestina lainnya. Saya meyakini yang lebih utama adalah menuntut hak kembali dan bukan pendirian negara Palestina.” imbuh Qasim.

Mengoleksi Daftar Resolusi Tanpa Penerapan

Resolusi PBB tentang negara Palestina merdeka bukan pertama kalinya. Tahun 1947, DK PBB pernah mengeluarkan resolusi nomer 181 dan 182 pembagian wilayah Palestina menjadi dua wilayah. Secara formal, Palestina diakui secara riil oleh 122 negara dan memiliki kedubes-kedubes atau perwakilan diplomasi di lebih dari 100 negara. Kemudian deklarasi negara Palestina merdeka di Aljazair tahun 1988 oleh mendiang presiden Palestina Yaser Arafat.

Selain itu, secara riil situasi di lapangan jika didalami, maka yang dibutuhkan bangsa Palestina sesunguhnya tindakan tegas dan tekanan kuat dari organisasi dunia semacam PBB kepada Israel untuk menghentikan kejahatan dan ekspansi pencaplokan wilayah. Situasi di Al-Quds Timur jajahan tahun 1967 sangat rumit karena adanya pemukiman penjajah, rencana pembangunan pemukiman yang semakin ekspansif. Wilayah Palestina yang diharapkan akan didirikan negara Palestina di sana berubah menjadi lahan empuk pemukiman Israel, demografi Palestina menjadi tercerai berai.
Perbatasan negara Palestina yang menjadi harapan telah hilang. Tembok pemisah keamanan Israel termasuk gerbang-gerbang keamanan menjadi merebak dan menjadi bagian terbesar dari perbatasan negara harapan itu sesuai dengan visi Israel. Pilar-pilar negara Palestina akhirnya bergantung pada apa yang dibolehkan Israel baik secara keamanan, politik dan ekonomi bahkan kebudayaan sekalipun.

Perundingan-perundingan dan sekian banyak resolusi PBB juga tidak banyak mengubah status quo Israel di lapangan. Jumlah warga penjajah di atas wilayah Israel naik setelah kesepakatan Oslo tahun 1993 menjadi dua kali lipat dari 236 ribu menjadi 500 ribu di Tepi Barat saat ini akibat pelanggaran Israel atas proses perdamaian.

Maka bertolak ke PBB untuk mendapatkan pengakuan ibarat ‘orang tidak berdaya meminta tolong kepada pihak yang tidak berdaya menekan pelaku kriminal’.

Di sisi lain, jika dilihat dari latar belakangnya, Abbas menempuh langkah ini lebih banyak sebagai tawar menawar kepada Amerika dan Israel. Sebab sepanjang perundingan yang digelar Palestina yang dimaintenence oleh Amerika, Israel tidak pernah sekalipun komitmen dengan pasal-pasal yang disepakati. Terakhir, Israel justru melanggar kesepakatan perundingan dengan membangun pemukiman-pemukiman yahudi karena dibangun di wilayah jajahan tahun 1967. Amerika melalui wakil presidennya Joe Bidden pernah meminta Israel agar menghentikan pembangunan itu. Sampai Israel menunda pembangunan selama beberapa bulan untuk kemudian dilanjutkan lagi.

Mendukung Perjuangan Hak Palestina Diplomasi Internasional

Namun bukan berarti kita menjegal segala upaya perjuangan hak-hak bangsa Palestina di kancah dunia internasional. Terutama hak untuk merdeka, menentukan nasibnya, mendirikan negara Palestina dengan kedaulatan penuh, mewujudkan hak-hak nasional Palestina, dan mengecam penjajah Israel dengan tidak mengorban hak-hak yang legal. Apalagi jika ada momen seperti Tuntutan September ini di PBB. Namun perjuangan diplomasi ini tidak boleh mengabaikan kebutuhan mendesak bangsa Palestina berupa pembebasan tanah air mereka secara riil untuk didirikan negara Palestina dengan kedaulatan penuh dan kemerdekaan hakiki, dan bukan keputusan formalitas semata.

Momen September ke PBB ini harus digunakan oleh semua pihak pendukung hak-hak bangsa Palestina untuk bersuara lantang menekan PBB menerapkan resolusi terkait Palestina yang ada secara tegas. Liga Arab, negara-negara non blok harus bersuara tegas agar Amerika dan barat tidak lagi menerapkan standar ganda dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah terutama Palestina. Selain itu, mereka juga harus mengkritisi konsepsi negara yang ditawarkan oleh Otoritas Palestina, dalam hal ini diwakili oleh Mahmud Abbas. Sebab pada hakikatnya, Palestina bukan milik bangsa Palestina, apalagi kelompok tertentu atau individu. Palestina adalah tanah wakaf umat Islam yang kini sedang dijajah oleh Israel.

Sumber : Islamedia.web.id

Share :

Facebook Twitter Google+ Lintasme

Related Post:

Back To Top
close